UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU EKONOMI
TUGAS TULISAN B.INDONESIA 2
BIOGRAFI PRAMOEDYA ANANTA TOER - SASTRAWAN INDONESIA
Nama : Yulia Cahyani
NPM : 29213562
Kelas : 3EB22
Jurusan / Jenjang : Akuntansi / S1
Dosen : Dr. Budi Santoso, S.E., MM.
Universitas Gunadarma
2015
Biografi Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan Indonesia
Nama : Pramoedya Ananta Toer
Tempat, Tanggal Lahir : Blora, 6
Februari 1925
Dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah
seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah
Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek
semi - otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga
Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan
Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer"
sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo,
Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga
kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya
sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di
bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak
mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).
Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio
Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di
Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa
mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya
berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum
nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena
meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak
pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang
di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan
Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di
Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di
sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948
dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program
pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra,
salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama
masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik
pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan
friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap
Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat
dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian
surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di
Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan
pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di
Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan
ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan
pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa
pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di
kawasan timur Indonesia.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru,
namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi
Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya
Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo
seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi
Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama.
Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan
sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan
kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan
dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara
hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah
di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan
juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih
2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi
lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk
putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi
lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan
Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995,
diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke
yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai
"jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak,
membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas
diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada
Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa,
meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi
mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui
'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan
sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam
mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika
Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan
hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan
berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan
Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan
petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut
pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran
'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi
Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang
tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan
pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang
boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang
'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku
segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika
memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi
dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde
Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya
sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka
di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi
tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan
juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan'
dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.
Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari
umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media
disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas
yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya
akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel
pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan
Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya
menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa
pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami
kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa.
Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di
Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi
antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi,
di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan
kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan
Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel
Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004
Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia
menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan
dari Universitas Michigan.
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas
kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan
seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan
diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis
yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup
tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi
sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga
stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan
wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama
menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai
ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan
bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya."
Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri
yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai
sekarang.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya
telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12
Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di
Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya
menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku
dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk
Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan
sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku
yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Pada 27 April 2006, Pram sempat
tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint
Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit
yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal,
jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah
sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter,
Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu
sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah
bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat
memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan
tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat
dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi
Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot
selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta
disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak
diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa
menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis.
Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang
surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia
menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya,"
ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi
semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan
cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar
meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah
menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar
bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang,
"Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81
tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan
Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain
Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman
Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman
Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga
tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma,
pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman
Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak
muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah
itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU
Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di
antara pelayat.
Penghargaan
- Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
- Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
- Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
- Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
- UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
- Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
- Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
- Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
- New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
- Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
- The Norwegian Authors Union, 2004
- Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
- Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
- Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
- Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
- Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
- Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
- International PEN English Center Award, Inggris, 1992
- International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
http://baguznoviansyah.blogspot.co.id/2013/05/kumpulan-tokoh-sastrawan-indonesia.html







